Kamis, 30 Juni 2011

Ciri-ciri Pernikahan Sehat

Ciri-ciri Pernikahan Sehat

Siapapun pasti ingin merasakan hubungan pernikahan yang mulus juga sehat. Namun cukup sehatkah pernikahan yang kini Anda jalani?

Tak jarang Anda membandingkan kondisi pernikahan dengan pasangan lain. Perasaan iri sering kali melanda saat melihat pasangan yang bahagia layaknya pasangan baru. Padahal mungkin saja pernikahan yang Anda jalankan justru merupakan pernikahan yang sehat.

Ketimbang sibuk membandingkan diri dengan pasangan lain, yuk kita lihat ciri pernikahan sehat seperti yang dikutip dari Suite101.

1. Fondasi hubungan yang kuat
Yang diperlukan dalam sebuah hubungan pernikahan tak hanya perasaan cinta yang kuat, namun juga fondasi pertemanan yang kokoh. Dalam sebuah pernikahan, pasangan adalah rekan hidup yang sejajar. Yang akan menemani di saat susah dan senang. Anda juga perlu mencintai pasangan layaknya seorang sahabat, yang bersedia mendukung seluruh mimpinya, membantunya bangkit saat terjatuh, dan berjuang menggapai tujuan bersama.

2. Komunikasi

Ciri pernikahan yang sehat adalah memiliki komunikasi yang lancar antara suami-istri. Dalam sebuah hubungan, seringkali kedua-belah pihak tidak sepaham, namun dengan komunikasi yang baik, jalan tengah bisa ditemukan.

3. Senyum dan tawa
Senyuman dan gelak tawa juga merupakan ciri pernikahan yang sehat. Jika suami-istri selalu bisa berbagi rasa bahagia mereka, dan tertawa bersama, maka hubungan mereka dipastikan kuat. Sebaliknya, jika kedua pihak tak lagi bisa berbagi kebahagiaan bahkan lelucon bersama, maka dapat dipastikan pernikahan mereka tengah mengalami masalah.

4. Cara mengatasi masalah
Cara pasangan mengatasi masalah juga memperlihatkan kekuatan hubungan mereka. Jika suami-istri menyelesaikan masalah dengan cara berkompromi, mencari jalan tengah demi kepentingan bersama tanpa menyepelekan kepentingan pasangannya, maka dapat dipastikan pernikahan mereka masih sehat. Sebaliknya, saat suami-istri hanya memikirkan ego masing-masing dan mulai memaksakan kehendaknya, maka hubungan pernikahan mereka berada dalam masalah.

5. Beraktivitas bersama
Suami-istri tak selalu memiliki hobi dan kegemaran yang sama. Namun jika keduanya bisa saling mengerti, bahkan bersedia terlibat dengan aktivitas pasangannya, maka pernikahan mereka dipastikan sehat. Selain itu beraktivitas bersama dengan pasangan juga dapat membuat kedekatan semakin bertambah.

Bagaimana dengan pernikahan Anda?

Selasa, 21 Juni 2011

MEMOTIVASI DISIPLIN DIRI

MEMOTIVASI DISIPLIN DIRI

 MEMOTIVASI DISIPLIN DIRI
Kuncinya sederhana saja. Mau tahu?
 
Suatu sore di hari Minggu, Bunda mengajak Bryan, anak lelakinya yang berusia 3,2 tahun, makan ikan bakar di sebuah rumah makan di Pertokoan Maspion Square. Seperti umumnya tempat makan, selalu tersedia sebuah pesawat teve. Saat menikmati ikan bakar, tiba-tiba saja Bryan dengan suara kerasnya nyeletuk, "Mama, nonton sinetron kan bikin anak bodoh ya?" Sang bunda agak tersentak tapi lalu cepat-cepat mengangguk sambil tersenyum dan mengusap kepala anaknya. Sempat Bunda menoleh ke arah pengunjung lain yang menengok ke arah mereka, entah lantaran suara Bryan yang keras ataukah karena perkataannya.
 
Kali lain, kisah Bunda lagi, Bryan mendapatkan sebuah goody bag dari teman sekelasnya yang berulang tahun. Tiba di rumah, Bryan langsung memilah sendiri mana saja snack yang tak dibolehkan dikonsumsi selama ini karena tidak ada label HALAL. Jika ada snack baru yang belum dikenalnya dan dia tak tahu ada-tidaknya label HALAL di bungkusnya, maka lebih dahulu dia akan menanyakannya pada sang Mama, "Kalau yang ini boleh enggak, Ma?" atau dia sendiri sudah bisa mengatakan, "Aku enggak mau makanan yang seperti itu, soalnya Nggak ada label HALAL-nya."
 
Banyak lagi hal lain yang diceritakan Bunda tentang "kehebatan" anak lelaki semata wayangnya itu. Bunda sangat bangga terhadap buah hatinya. Betapa tidak? Di usia yang masih balita, sang anak sudah bisa bersikap positif. Tentu saja, hal itu berkat asuhan dan didikan yang konsisten dalam mengajarkan sikap/perilaku postif sejak dini. Seperti juga dikatakan Dr Ruri,  dokter Anak di Klinik dekat rumah, "Orangtua memang harus menanamkan sikap dan perilaku positif pada anak sedini mungkin."
 
Sebetulnya, lanjut Ruri, perilaku positif yang diharapkan orangtua itu intinya adalah disiplin. "Jadi, untuk memotivasi anak agar mau berperilaku positif adalah dengan melakukan pembiasaan-pembiasaan pada anak. Tentunya, orangtua juga memberikan contoh dan menjelaskan perilaku apa yang diharapkan dari anak dengan mengemukakan alasannya," kata Ruri seraya mengingatkan orangtua agar tak lupa memberikan reward atas sekecil apa pun usaha anak.
 
Namun perlu dipahami, cara ini tidak dapat dilakukan secara instan melainkan harus terus-menerus sampai akhirnya anak mengerti. Jadi, jangan pernah bosan untuk selalu mengingatkan si buah hati dengan nada yang tidak memaksa dan mengancam tentunya. Ketahuilah, sikap/ perilaku positif anak di usia dini akan membuat anak merasa percaya diri dengan apa yang dilakukannya. "Dia merasa dirinya nyaman dan aman karena tahu apa yang harus dilakukan. Hidup anak jadi lebih teratur dan punya disiplin diri yang baik. Hal positif ini akan terus berlanjut hingga usia dewasa nanti," tandas Rosdiana.
 
 
 
SIKAP/PERILAKU POSITIF
 
1. Memilih makanan sehat/tak jajan makanan sembarangan.
 
Mulailah dari diri orangtua sendiri, yaitu dengan selalu menyediakan makanan sehat di rumah, tidak memberikan contoh jajan makanan yang tak sehat semisal beli makanan gorengan, dan sebagainya. Orangtua pun selalu menjelaskan pada anak akan pentingnya makanan sehat serta bahayanya makanan tak sehat yang mengandung pengawet, pewarna dan penambah rasa. Berikan contoh-contoh dari dampaknya yang bisa anak ketahui. Penjelasan ini tentunya harus dilakukan berulang-ulang sehingga anak mengerti. Dengan begitu, ia akan terbiasa dan tak masalah jika tak diberi makanan yang tak dibolehkan.
 
Bagaimana jika dibuatkan jadwal tertentu? Misal, hanya pada saat weekend saja atau saat berbelanja bulanan saja, sehingga anak tetap bisa merasakan makanan tertentu tanpa harus memuasakannya sama sekali. Hal ini boleh saja tergantung pada kebijakan masing-masing orangtua. Begitu pun bila orangtua memberlakukan "larangan" secara ekstrem lantaran anaknya mengalami autisma, misal.
 
2. Tak asal belanja barang/ mainan.
 
Sebetulnya hal ini tergantung bagaimana ketaatan orangtua dalam meluluskan atau tidaknya permintaan anak. Ada tipe orangtua yang senang memberikan apa pun yang dianggapnya menarik, lucu dan baik buat anak, meski si anak tidak memintanya, Ada juga orangtua yang main gampang saja dan tak mau repot dengan menuruti apa pun yang diminta anak daripada mendengar anaknya merengek atau ngamuk lantaran tak dikabulkan. Nah, bila Ibu dan Bapak termasuk orangtua tipe ini, tak heran bila si kecil akan terdorong untuk selalu ingin membeli/belanja barang atau sesuatu sesuai keinginannya. Padahal, dampaknya buruk buat anak. Salah satunya, anak jadi cenderung egois dan manja. Orangtua pun akan terbebani dan tersusahkan oleh perilaku anaknya ini.
 
Jadi, orangtua perlu introspeksi diri dan segera mengubah perilakunya yang merugikan itu. Hendaknya orangtua tidak selalu meluluskan permintaan anak. Jika ia sudah punya barang yang sejenis/hampir sama dengan yang akan dibelinya, jelaskan, ia sudah memiliki banyak barang tersebut. Ajarkan pula, ia boleh membeli sesuatu yang memang dibutuhkannya. Ingatkan anak, semua yang harus dibeli tentunya menggunakan uang yang didapat dari hasil kerja keras orangtua. Anak harus bisa menghargainya dengan cara tidak menghamburkan uang melainkan berhemat. Begitu pun dengan mainan/barang yang sudah dimilikinya, anak harus bisa menghargainya dengan menjaga baik-baik dan tidak merusaknya. Bahkan ajari anak untuk membagi barang yang dimilikinya kepada anak-anak yang kurang beruntung.
 
Berikan pula pilihan pada anak untuk membeli sesuatu yang diinginkan atau memilih waktu bersama orangtua, misalnya berenang. Umumnya, anak usia prasekolah—bila dibandingkan anak yang usianya lebih besar—akan lebih memilih waktu bersama orangtua. Jika bukan itu pilihan anak, maka orangtua perlu introspeksi diri.
 
3. Menahan emosi.
 
Perilaku agresif anak seperti memukul, mencubit, melempar dan sebagainya bukanlah perilaku menyenangkan bagi semua orang. Jika anak bersikap agresif dan tidak diatasi, akan menghambat anak dalam berhubungan dengan orang lain. Bukankah orangtua pun akan merasa kesulitan? Karenanya, orangtua perlu memberikan contoh perilaku baik yang diharapkan, selain juga menjelaskan secara terus-menerus agar anak mengerti.
 
Ajari anak mengendalikan emosinya dengan cara paling efektif yaitu pemberian time-out karena bisa menenangkan emosi anak, Jadi, saat anak dalam kondisi marah, minta ia masuk ke dalam suatu ruangan. Pilihlah ruang yang nyaman semisal ruang tidurnya atau lainnya. Diamkan anak dalam ruang tersebut. Berikan waktu untuk anak mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya. Lamanya tergantung pada tingkat usia anak, tingkat kemarahan dan juga kemampuan mengatasinya. Jika anak sampai memberantakkan kamarnya, minta dia untuk membereskan kembali. Selesai waktu time-out, beri penjelasan pada anak tentang apa yang jadi harapan dan keinginan orangtua dari sikapnya. Juga beri pujian atau ajak anak melakukan kegiatan bersama, semisal memasak bersama.
 
4. Gosok gigi.
 
Tak ingin punya anak kecil-kecil sudah rusak giginya, bukan? Maka itu anak harus diajarkan menjaga kesehatan giginya. Caranya antara lain dengan menyediakan peralatan gosok gigi dan pasta gigi khusus anak yang menarik. Beri alasan pada anak mengapa ia harus menggosok giginya setiap pagi sesudah makan dan sebelum tidur malam. Efektifnya, orangtua memberikan contoh. Siapkan peralatan gosok gigi sebelum mandi pagi dan lakukan kegiatan gosok gigi bersama sebelum tidur. Bisa juga dengan menempelkan jadwal di papan. Jika anak melakukannya maka akan mendapat stiker bintang/kupon kecil. Stiker/kupon ini bisa ditukarkan dengan reward tertentu bila mencapai jumlah tertentu. Misal, ditukarkan dengan nonton film di bioskop, buku cerita, dan sebagainya.
 
5. Tidak nonton sinetron dengan muatan buruk.
 
Jika kedua orangtua bekerja, bisa saja pengaruh ini didapat dari kebiasaan pengasuh menonton sinetron. Tentunya, harus ada aturan jelas yang ditetapkan bagi orang di rumah dan diperlukan kerja samanya. Selain itu, berikan penjelasan pada anak mengapa ia tidak dibolehkan menonton sinetron dewasa. Katakan dengan bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti anak, semisal bahwa tontonan tersebut tidak bagus dan bisa membuatnya bodoh. Alihkan tontonan anak pada film-film yang memang khusus untuk seusianya. Orangtua bisa membelikan VCD atau berlangganan televisi kabel, umpamanya. Dengan dibiasakan seperti ini anak juga lama-lama tak masalah bila tak menonton televisi. Juga anak tak merasa suatu keharusan untuk menonton.
 
 6. Bangun pagi sebelum berangkat sekolah.
 
Di usia prasekolah, kebanyakan anak sudah duduk di TK dan mereka harus bisa bangun pagi untuk bersiap berangkat sekolah. Nah, agar anak bisa bangun pagi dan berangkat sekolah tanpa ada masalah/hambatan, maka malamnya jangan biarkan anak tidur larut. Kemudian paginya, bangunkan dia dengan menyetelkan lagu-lagu anak yang menyenangkan atau apa pun yang disukai anak di pagi hari. Intinya, buatlah keramaian di pagi hari. Perhatikan pula karakter masing-masing anak. Ada anak yang butuh waktu lebih lama dari bangun pagi untuk mandi, ada juga yang cepat. Lakukan pendekatan pada masing-masing anak. Motivasi bisa dilakukan pula dengan pemberian stiker untuk kemudian ditukar dengan suatu reward. Namun, jika anak selalu malas-malasan untuk berangkat ke sekolah apalagi sampai mogok sekolah, orangtua perlu mencari penyebabnya. Mungkin ada masalah di sekolahnya.
 
 7. Punya waktu belajar.
 
Anak perlu memiliki sikap positif dengan mau belajar di jam-jam tertentu. Memang, anak usia ini belum belajar dalam arti sesungguhnya dan juga belum mendapat PR dari sekolahnya. Namun dengan dibiasakan belajar di waktu-waktu tertentu akan mempermudah orangtua saat kelak anak di usia sekolah. Anak akan terbiasa melakukan kegiatan belajar di jadwal tersebut.
 
Cara memotivasinya dengan memberikan aktivitas atau kegiatan belajar sambil bermain di waktu khusus belajar. Orangtua harus terlibat di dalamnya, menemani, membantu dan juga mengarahkan. Sediakan pula buku-buku aktivitas, semisal buku aktivitas menggambar, mewarnai, berhitung, dan sebagainya. Lakukan secara rutin aktivitas ini. Mengingat konsentrasi anak belum terbentuk baik di usia ini, maka tingkatkan terus konsentrasinya dari waktu ke waktu agar anak mau melakukan aktivitasnya dengan baik.
 
 8. Mau membaca.
 
Tak menutup kemungkinan anak usia ini ada yang sudah bisa membaca. kalaupun anak belum bisa membaca namun orangtua tetap perlu menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Orangtua harus memberikan contoh dengan suka membaca dan membacakan buku cerita atau dongeng sebelum tidur secara rutin sehingga ada keinginan anak untuk mau bisa membaca sendiri. Bisa juga orangtua membacakan cerita sambil bermain peran. Lama kelamaan anak akan mau membaca. Lakukan pula kegiatan belajar membaca sambil bermain yang bisa orangtua ciptakan secara kreatif.
 

Agar Anak Tetap Kreatif

Agar Anak Tetap Kreatif


Ada  3 ciri anak kreatif yang dominan :
1.    Spontan
2.    Rasa ingin tahu
3.    Tertarik pada hal-hal yang baru 
Dan ternyata ke 3 ciri-ciri tersebut terdapat pada diri anak. Berarti semua anak pada dasarnya adalah kreatif, dan faktor lingkunganlah yang menjadikan anak tidak kreatif.
Sedangkan kewajiban orang tua sebenarnya bukanlah mencetak, tetapi lebih pada mempertahankan agar anak tetap kreatif sebagaimana aslinya. Apakah kita sebagai orang tua mampu untuk mempertahankan kreatifitas anak ? ada beberapa pertanyaan yang dapat membantu kita untuk memahami sudah seberapa jauh kemampuan kita dalam hal ini :
a) Apakah kita menerima segala kelebihan dan kekurangan anak kita dan apakah kita mensugesti mereka bahwa mereka mampu atau sebaliknya ?
b) Apakah kita senantiasa menyadari bahwa setiap individu adalah unik dan setiap anak adalah otentik, tidak sama dan tidak akan dapat disamakan dengan anak lain ?
c) Apakah kita menyadari bahwa kreatifitas itu bersifat multi dimensional  dan setiap anak memiliki dimensi kreatifitasnya sendiri-sendiri ?
d) Sudahkah kita mencoba mencari dan menelusuri sendiri minat-minat dan bakat-bakat apa yang dimiliki oleh anak-anak kita satu persatu ?
e) Apakah kita telah memberikan dorongan dan cukup menghargai gagasan-gagasan anak kita, atau sebaliknya ?
f) Sudahkah kita memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap apa-apa yang tengah dikerjakan oleh anak-anak kita, misalnya dengan ikut melakukan aktifitas bersama anak ?
g) Apakah kita senantiasa memperkenalkan berbagai hal yang baru kepada anak-anak kita, atau justru sebaliknya (menyembunyikannya) ?
h) Apakah kita menghadapi anak-anak kita secara santai atau dengan penuh ketegangan ?
i) Sudahkan kita memberikan waktu, tempat, kemudahan dan bahan-bahan agar anak kita kreatif ?
j) Sudahkah kita memberikan anak-anak kita iklim dan pojok khusus untuk melakukan aktifitas mereka ?
k) Apakah selama ini kita menilai hasil kreasi anak kita atau kita lebih tertarik utk memperhatikan prosesnya ?
l) Apakah selama ini kita menilai hasil kreasi anak dengan menggunakan perspektif kita atau dengan menggunakan perspektif anak ?
m) Apakah kita selama ini cukup terbuka terhadap gagasan dan kreasi anak yang tidak lumrah ?
n) Sudahkah kita memberi penguatan terhadap hasil kreasi anak atau justru melemahkannya ?
4 Kunci Mempertahankan Kreatifitas Anak
Membangun kepribadian anak dengan modal cinta
Dengan cinta maka orangtua dapat menerima anak apa adanya. Terlepas dari apakah orangtua melihat kelebihan anak ataukah tidak, terlepas dari apakah orangtua menyukai cacat (kelemahan) anak atau tidak. Tentu saja hal ini hanya mungkin bagi orangtua yang memiliki tanggungjawah. Orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Karena setiap individu adalah unik. Kita dapat membentuk kepribadian anak kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka. Seperti kita lihat sahabat Umar ra, Abu Bakar ra dan sebagainya, mereka tidak memiliki karakter yang sama meskipun masing-masing mereka merupakan pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka  justru menjadian mereka ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula halnya dengan kreatifitas, setoap sahabat adalah insan kreatif. Masing-masing mereka memiliki dimensi kreatifitas sendiri-sindiri. Salman Al-Farisi penggagas perang parit, Umar bin Khattab penggagas ketertiban lalu lintas, Abu Bakar Ash-Shiddiq penggagas tegaknya sistim ekonomi islam, Khalid bin Walid penggagas strategi perang moderen dan banyak lagi.
Tinggal yang menjadi masalah sekarang adalah, kita para orangtua kurang bersungguh-sungguh untuk menemukan bakat-bakat dan minat-minat yang dimiliki oleh anak. Seolah-olah kita para orangtua lebih suka anak kita menjadi fotokopi orang lain, ketimbang dia tumbuh sebagai suatu pribadi yang utuh. Kalau anak-anak Amerika dengan shibghah (celupan) individualis liberalis dapat mengatakan : I want to be me ! Mengapa anak-anak kita, anak muslim tidak dapat mengatakan : Ana Abdullah ( Saya abdi Allah) ! Kalau kepribadian menentukan kreativitas, maka seorang muslim pada hakekatnya memiliki potensi kreatif lebih besar dibandingkan ummat-ummat lainnya. Karena kepribadian islam tiada tandingannya.
Menumbuhkan dan Mengembangkan Motivasi
Kepribadian yang kuat biasanya memiliki motivasi yang kuat pula. Tapi karena kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mendengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang  harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ?
Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Suatu hal yang perlu dicatat dalam memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah serekreatif mungkin dan hindarilah kesan-kesan rekonstruktif.
Mensistimatisir Proses Pembentukan Anak Kreatif
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam pembentukan anak kreatif adalah :
Pertama : Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai.
Mengenai waktu dapat berkisar antara 5- 30 menit setiap hari, sangat tergantung pada bentuk kreatifitas apa yang hendak dikembangkan. Begitu pula halnya dengan tempat, ada yang  memerlukan tempat yang khusus dan ada pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu canggih, tergantung sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak harus selalu baru, lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa atau bekas.
Kedua : Mengatur selang seling kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar dalam melakukan aktifitas tersebut anak-anak terkadang melakukan aktivitas secara individual, tetapi adakalanya juga melakukan aktifitas secara kelompok. Terkadang anak-anak melakukan aktivitas secara kompetitif, terkadang juga secara kooperatif
.
Ketiga : Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktifitas
Kita dapat menyediakan satu sudut di rumah untuk menghamparkan sajadah dan kemudian shalat diatasnya. Mengapa kita tidak dapat menyediakan sudut khusus untuk kreatifitas anak-anak kita ?
Keempat : Memelihara iklim kreatifitas agar tetap terpelihara
Caranya dengan mengoptimalkan point-point yang telah disebutkan pada kunci no 2 untuk mempertahankan kreatifitas anak.
Mengevaluasi Hasil Kreativitas
Selama ini kita sering terjebak untuk menilai kreatifitas melalui hasil atau produk kreatifitas. Padahal sesunggunya proses itu lebih penting ketimbang hasilnya. Pentingnya penilaian kita terhadap proses kreatifitas, bukan berarti kita tidak boleh menilai hasil kreatifitas itu sendiri. Penilaian tetap dilakukan, hanya saja ada satu hal yang harus kita perhatikan dalam menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreatifitas tersebut dengan menggunakan perspektif anak dan bukan menggunakan perspektif kita sebagai orang tua. Kalau kita mendapati seorang anak berusia 3 tahun dan kemudian dia dapat menyebutkan angka dari 1 sampai 10 apakah kita akan mengatakan, “Ah, kalau cuma kaya’ begitu saya bisa !” Tentu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengevaluasi prosos dan hasil kreatifitas adalah “Open Mind” atau dengan “Pikiran yang terbuka”. Apalagi anak seringkali mengemukakan gagasannya atau menelurkan suatu hasil kreatifitas yang tidak lazim. Setiap kali kita mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan dan juga penguatan. Dan begitu juga sebaliknya, jauhi celaan dan hukuman … agar anak kita tetap kreatif.

10 Cara Membuat Anak Merasa Istimewa

10 Cara Membuat Anak Merasa Istimewa

Sering kita meminta anak untuk bermain sendiri agar kita bisa menyelesaikan pekerjaan kita. Namun demikian, merasa didahulukan sama pentingnya bagi anak seperti merasa diistimewakan. Terutama di sela-sela kesibukan Anda mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Mau tahu caranya? Ini dia!
1. Matikan teve & cabut kabel telepon
Ciptakan suasana makan (siang atau malam) tanpa gangguan dering telepon atau suara bising teve agar anak-anak memberi perhatiannya pada Anda.
2. Libatkan anak
Dengan mengajak anak ikut sibuk menyiapkan meja makan atau memasak makanan kegemaran mereka, merupakan saat yang tak terlupakan oleh buah hati.
3. Beri kejutan
Bagi ibu bekerja, tak ada salahnya bila sekali-sekali meminta izin atasan dan gunakan waktu tersebut untuk menjemput anak sepulang ia sekolah.
4. Buat tertawa
Suasana rumah akan terasa hidup bila terdengar suara tawa dari anak-anak. Ikut bermain dan tertawa bersama akan mempererat ikatan antara Anda dan anak.
5. Libatkan diri dengan sekolah
Kepedulian Anda terhadap perkembangan anak di sekolah akan membantu Anda mengatasi tekanan si anak dari sesama temanya atau kondisi kelasnya.
6. Libatkan pada kegiatan anak
Kegemaran anak memandangi bulan pada saat purnama, mungkin merupakan hal sepele bagi Anda. Tetapi mengetahui Anda peduli, dan secara khusus menyisihkan waktu untuk menemani mereka memandang bulan purnama, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi anak Anda.
7. "Kencan" dengan anak
Ajak anak menonton di bioskop atau makan es krim di cafe sepulang menjemput mereka dari les. Setiap anak akan menghargai waktu khusus yang disisihkan oleh ibu atau ayahnya.
8. Jangan berhenti bertanya
Selalu bertanya tentang bagaimana dan apa yang dilakukannya di sekolah hari ini agar mereka tahu bahwa Anda memang tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi padanya selama di sekolah.
9. Menjadi pendengar yang baik
Bila anak curhat , dengarkan mereka dengan penuh perhatian. Jangan sela pembicaraan mereka. Hal ini akan membuat anak merasa aman dan bahagia.
10. Manjakan diri
Jangan merasa bersalah untuk sesekali ke salon melakukan spa, facial , atau apa saja. Semakin enak perasaan yang Anda rasakan, Anda pun akan semakin bahagia bila berkumpul bersama anak-anak tercinta.